HUDAN NUR

From BASAkalimantanWiki
20250107T064536590Z563066.png
Full Name
HUDAN NUR
Pen Name
Photograph by
asyikasyik.com
Link to Photograph
https://asyikasyik.com/media/2019/12/fix Hudan-Nur-ilustrasi-for-asyikasyikdotcom-2048x1170.png
Place


Add your comment
BASAkalimantanWiki welcomes all comments. If you do not want to be anonymous, register or log in. It is free.

Biography


In English

“Aku kira Hudan itu laki!” kalimat yang paling banyak terlontar di beberapa kalangan awam. Awam dari literasi di lokal pride, bahkan yang umum skala Indonesia bisa jadi. Bagi yang baru mengenal Hudan melalui karya puisi namun belum melihat siapa yang menulisnya, mungkin kuat sekali menyangka kalau Hudan adalah cowok. Juga buku-buku puisi Hudan dan kumcer yang berapa bulan terakhir terbit beriringan layaknya kakak-beradik. Catatan ini akan semakin renyah pada bagian tengah hingga bagian akhir. Renyah-renyah, ancur.

Jika menelaah kekaryaan seorang Hudan dalam tekstual, susunan kalimat dan penggunaan kata-katanya seolah menembus batas literasi yang umum, kalau saya lebih-lebihkan. Sebab banyak perumpamaan dan metafora tidak masuk akal tapi bisa bikin kita angguk-angguk kalau dijelasin. Beberapa bait tampak sangat maskulin, tapi di momen lain bisa juga mendadak feminism sekali malahan. But, catatan ini sekali lagi (ditekankan) tidak membahas banyak tentang apa-apa yang telah dirayakan dalam rentang 20 tahun terkahir berkarya dalam sastra, melainkan bagaimana Hudan Nur membangun personal brandingnya, hingga kini beranak dua, eh, empat deh.

Hudan Nur baru saja menerbitkan sebuah buku berjudul 50 Tahun Sastra Banjarbaru pada akhir November tadi. Lima puluh tahun itu gak sebentar, lho! Mengumpulkan semua data itu kayak mungutin akta kelahiran dari jaman jebot sampai era sobat ambyar. Kalau nikah kamu di umur dua limaa’an, ini masanya nentengin cucu yang lari-lari keliling lapangan dan lu cuma bisa bilang, “Eh, cu, jangan lari cepet-cepet,” maklum, tulang mulai keropos.

Beruntungnya, niat baik yang tulus bersama tim penyusun lainnya, dan demi literasi dan penglurusan atas penyimpangan sejarah, buku berjudul 50 Tahun Sastra Banjarbaru itu gak jadi persis 50 tahun prosesnya pengumpulannya, segala puji bagi Tuhan semesta alam. Terima kasih Hudan dan kawan-kawan, telah menerbitkan buku yang sangat berharga untuk kota ini, terkhusus Kota Banjarbaru.

Finally, buku itu tidak dicetak banyak, sudah tersebar ke beberapa tangan dan dibahas Walikota era sekarang di pendopo kerajaan. Dan untuk pembaca yang berminat bisa menghubungi Hudan langsung atau ke penerbitnya, sebab stok buku yang direvisi sudah siap cetak ulang oleh Zukzez Express. Done. Misi-misi lain yang beriringan dengan terbitnya buku tersebut biarkan Hudan di momen berikutnya memaparkan.

Komunikasi ala Hudan Nur Dalam Bersastra dan Berosialita

Komunikasi Hudan Nur dalam karya sastra memunyai distorsi tajam di tiap kata. Kadang membubuhkan engagment berbeda, variable sarkas, tapi tidak ngancem dan ngebully pembaca. Kayak sharing is caring, gitu! Tak hanya dituangkan dalam karya berbentuk teks yang abadi, tapi juga attitudenya dalam berkomunikasi. Bagi orang yang belum maklum, Hudan bisa saja menjadi roaster ulung, tapi masih mau bantu pinjem uang saat temen lagi perlu buat makan. Kayaknya.

Tentang bahasa, sikap menerima dan memberikan pendapat, ia sering jujur frontal, tapi packagingnya berbalut komedi. Kambing, kan! Kalau saja pembaca tahu sejarah hidupnya Hudan yang pernah hampir mati karena kecelakaan dan bercermin dengan segala yang dijalaninya sekarang, kita gak bakal baca karya semenarik dan seterkejut itu, keles.

Saya sempat bertanya apa tujuannya bersastra hingga masih konsisten di saat angkatannya mulai gas tipis-tipis. “Bingung juga, untuk apa ya? kalau sekadar untuk dibaca, ya kupikir bukan itu. Aku kira lebih tepatnya untuk berbagi. That’s it,” jawabnya.

Jika kita tarik ke tahun 90’an semasa ia duduk di bangu Sekolah Dasar, Hudan beberapa kali dikirim mewakili sekolah untuk lomba menyanyi. Gak nyambung, kan? Kalau pramuka justru mewakili sekolah, dan malah diminta untuk mengaji. Tak heran hingga kuliah, ia juga turut serta di MTQ tingkat mahasiswa. #PerempuanHebat, nih.

“Pada awalnya, aku hanya senang baca puisi. Persisnya sejak kelas 4 SD. Dan dari sanalah, aku ketagihan. Kebetulan, Banjarbaru sering sekali mengadakan event baca puisi. Zaman itu, yang jadi juri adalah para tokoh sastrawan dan seniman Eza Thabry Husano, M. Rifani Djamhari, Syarkawi Mar’ie, dan Hamami Adaby. Semuanya sudah almarhum,” terangnya.

TRANSLATE TO ENGLISH

BLACKBOXAI

"I thought Hudan was a guy!" is a phrase often heard among various circles of the general public. Those who are not well-versed in local pride literature, even on a broader scale in Indonesia, might easily assume that Hudan is male. For those who have just come to know Hudan through poetry but have not seen who wrote it, the assumption that Hudan is a guy can be quite strong. This is also true for Hudan's poetry books and short story collections that have been published in recent months, appearing like siblings. This note will become increasingly interesting in the middle and towards the end. Interesting, yet chaotic.

When examining Hudan's works textually, the arrangement of sentences and word choices seem to transcend common literary boundaries, if I may exaggerate. Many of the metaphors and comparisons may seem absurd but can make us nod in agreement when explained. Some stanzas appear very masculine, yet at other moments, they can suddenly become quite feminist. But, this note, once again (emphasized), does not delve deeply into what has been celebrated over the past 20 years of literary work, but rather how Hudan Nur has built his personal branding, which has now expanded to two, or rather, four children.

Hudan Nur has just published a book titled "50 Years of Banjarbaru Literature" at the end of November. Fifty years is no small feat! Collecting all that data is like gathering birth certificates from the ancient times to the era of "sobat ambyar" (a popular Indonesian phrase meaning "friends who are heartbroken"). If you got married at the age of 25, this is the time to watch your grandchildren running around the field while you can only say, "Hey, kid, don’t run too fast," as your bones start to weaken.

Fortunately, the sincere good intentions of Hudan and his team, aimed at promoting literacy and correcting historical distortions, meant that the book "50 Years of Banjarbaru Literature" did not take a full 50 years to compile, all praise be to God. Thank you, Hudan and friends, for publishing this invaluable book for this city, especially for Banjarbaru.

Finally, the book is not printed in large quantities; it has already reached several hands and has been discussed by the current mayor at the royal pavilion. For interested readers, you can contact Hudan directly or reach out to the publisher, as the revised stock of the book is ready for reprint by Zukzez Express. Done. Other missions that coincide with the publication of this book will be left for Hudan to elaborate on in the next moment.

Hudan Nur's Communication in Literature and Social Interaction

Hudan Nur's communication in literary works has a sharp distortion in every word. Sometimes it carries different engagements, with a variable of sarcasm, but it does not threaten or bully the reader. It’s like sharing is caring! Not only is it expressed in the form of eternal texts, but also in his attitude towards communication. For those who are not familiar, Hudan can be a skilled roaster, yet still willing to lend money when a friend is in need for food. Maybe.

Regarding language, his attitude towards receiving and giving opinions is often honest and straightforward, but the packaging is wrapped in comedy. Goats, right? If only readers knew about Hudan's life history, having nearly died in an accident and reflecting on everything he has gone through now, we wouldn’t be reading such interesting and shocking works, right?

I once asked him what his purpose was in writing literature, especially since he remains consistent while his peers are starting to slow down. "I’m also confused, what for? If it’s just to be read, then I think that’s not it. I believe it’s more about sharing. That’s it," he replied.

If we trace back to the 90s when he was in elementary school, Hudan was often sent to represent his school in singing competitions. Doesn’t seem to connect, right? If it were scouting, it would make sense, and he was even asked to recite the Quran. It’s no surprise that in college, he also participated in the student-level MTQ (Quran Recitation Competition). #StrongWomen, indeed.

"Initially, I just enjoyed reading poetry. Specifically, since the 4th grade. And from there, I became addicted. Fortunately, Banjarbaru often held poetry reading events. Back then, the judges were literary figures and artists like Eza Thabry Husano, M. Rifani Djamhari, Syarkawi Mar’ie, and Hamami Adaby. All of them have passed away," she explained.

In Indonesian

“Aku kira Hudan itu laki!” kalimat yang paling banyak terlontar di beberapa kalangan awam. Awam dari literasi di lokal pride, bahkan yang umum skala Indonesia bisa jadi. Bagi yang baru mengenal Hudan melalui karya puisi namun belum melihat siapa yang menulisnya, mungkin kuat sekali menyangka kalau Hudan adalah cowok. Juga buku-buku puisi Hudan dan kumcer yang berapa bulan terakhir terbit beriringan layaknya kakak-beradik. Catatan ini akan semakin renyah pada bagian tengah hingga bagian akhir. Renyah-renyah, ancur.

Jika menelaah kekaryaan seorang Hudan dalam tekstual, susunan kalimat dan penggunaan kata-katanya seolah menembus batas literasi yang umum, kalau saya lebih-lebihkan. Sebab banyak perumpamaan dan metafora tidak masuk akal tapi bisa bikin kita angguk-angguk kalau dijelasin. Beberapa bait tampak sangat maskulin, tapi di momen lain bisa juga mendadak feminism sekali malahan. But, catatan ini sekali lagi (ditekankan) tidak membahas banyak tentang apa-apa yang telah dirayakan dalam rentang 20 tahun terkahir berkarya dalam sastra, melainkan bagaimana Hudan Nur membangun personal brandingnya, hingga kini beranak dua, eh, empat deh.

Hudan Nur baru saja menerbitkan sebuah buku berjudul 50 Tahun Sastra Banjarbaru pada akhir November tadi. Lima puluh tahun itu gak sebentar, lho! Mengumpulkan semua data itu kayak mungutin akta kelahiran dari jaman jebot sampai era sobat ambyar. Kalau nikah kamu di umur dua limaa’an, ini masanya nentengin cucu yang lari-lari keliling lapangan dan lu cuma bisa bilang, “Eh, cu, jangan lari cepet-cepet,” maklum, tulang mulai keropos.

Beruntungnya, niat baik yang tulus bersama tim penyusun lainnya, dan demi literasi dan penglurusan atas penyimpangan sejarah, buku berjudul 50 Tahun Sastra Banjarbaru itu gak jadi persis 50 tahun prosesnya pengumpulannya, segala puji bagi Tuhan semesta alam. Terima kasih Hudan dan kawan-kawan, telah menerbitkan buku yang sangat berharga untuk kota ini, terkhusus Kota Banjarbaru.

Finally, buku itu tidak dicetak banyak, sudah tersebar ke beberapa tangan dan dibahas Walikota era sekarang di pendopo kerajaan. Dan untuk pembaca yang berminat bisa menghubungi Hudan langsung atau ke penerbitnya, sebab stok buku yang direvisi sudah siap cetak ulang oleh Zukzez Express. Done. Misi-misi lain yang beriringan dengan terbitnya buku tersebut biarkan Hudan di momen berikutnya memaparkan.

Komunikasi ala Hudan Nur Dalam Bersastra dan Berosialita

Komunikasi Hudan Nur dalam karya sastra memunyai distorsi tajam di tiap kata. Kadang membubuhkan engagment berbeda, variable sarkas, tapi tidak ngancem dan ngebully pembaca. Kayak sharing is caring, gitu! Tak hanya dituangkan dalam karya berbentuk teks yang abadi, tapi juga attitudenya dalam berkomunikasi. Bagi orang yang belum maklum, Hudan bisa saja menjadi roaster ulung, tapi masih mau bantu pinjem uang saat temen lagi perlu buat makan. Kayaknya.

Tentang bahasa, sikap menerima dan memberikan pendapat, ia sering jujur frontal, tapi packagingnya berbalut komedi. Kambing, kan! Kalau saja pembaca tahu sejarah hidupnya Hudan yang pernah hampir mati karena kecelakaan dan bercermin dengan segala yang dijalaninya sekarang, kita gak bakal baca karya semenarik dan seterkejut itu, keles.

Saya sempat bertanya apa tujuannya bersastra hingga masih konsisten di saat angkatannya mulai gas tipis-tipis. “Bingung juga, untuk apa ya? kalau sekadar untuk dibaca, ya kupikir bukan itu. Aku kira lebih tepatnya untuk berbagi. That’s it,” jawabnya.

Jika kita tarik ke tahun 90’an semasa ia duduk di bangu Sekolah Dasar, Hudan beberapa kali dikirim mewakili sekolah untuk lomba menyanyi. Gak nyambung, kan? Kalau pramuka justru mewakili sekolah, dan malah diminta untuk mengaji. Tak heran hingga kuliah, ia juga turut serta di MTQ tingkat mahasiswa. #PerempuanHebat, nih.

“Pada awalnya, aku hanya senang baca puisi. Persisnya sejak kelas 4 SD. Dan dari sanalah, aku ketagihan. Kebetulan, Banjarbaru sering sekali mengadakan event baca puisi. Zaman itu, yang jadi juri adalah para tokoh sastrawan dan seniman Eza Thabry Husano, M. Rifani Djamhari, Syarkawi Mar’ie, dan Hamami Adaby. Semuanya sudah almarhum,” terangnya.

Pada era demikianlah, Hudan mengaku hanya suka baca puisi lantaran bahan untuk lomba saja karena beberapa kali juara.

Sejarah Berpuisi, Lalu Menjadi Ketua di Sejumlah Organisasi

Jika kita menelaah profil seorang penyair, entah itu seniman, atau penulis tentu tak lepas dari referensi yang ia baca. Nah, kalau ditelisik, Hudan justru senang sekali membaca majalah Bobo dan Ananda. Sejak TK malahan. Lalu, kali pertama ia mengirim karya ke majalah Bobo yang ketika itu kelas 2 SD.

“Malangnya nasib. Semua karya yang kukirim ke majalah hingga aku duduk di bangku SMP tak ada yang tembus. Gak ada tuh yang diterbitkan oleh redaksi majalah itu,” bebernya.

Hudan mengaku menggemari cerita silat, lalu novel-novel berlatar sejarah. Yang kebetulan juga ayahnya adalah pengoleksi banyak sekali novel di masa beliau kuliah.

“Kalau diingat-ingat lagi, pertama menulis puisi itu tahun 1999. Dua tahun setelah yaitu 2001 beberapa puisi-puisiku mulai lolos dan diterbitkan. Ya masuk koran, begitu lah. Kalau itu aku berada di fase seperti pabrik puisi. Aku mampu menulis puisi sehari dengan beberapa jumlah. Bahkan sehari bisa belasan puisi. Setelahnya aku mengirimkan dalam bentuk surat kepada kawan-kawanku setiap hari. Beberapa juga kukirimkan ke koran-koran lokal dan majalah.”

Ia tak pernah menanyakan apa reaksi dan pendapat para kawan-kawannya tersebut, meski semua adalah laki-laki. Baginya, cukup dia membagi apa yang telah diungkapkannya dalam puisi. Saya kalimatkan begini, “Perihal bagaimana tanggapanmu, itu urusanmu.”

Menariknya, Hudan sejak dulu gemar memberikan titel atau gelar kepada orang-orang yang diberikannya puisi. Semisal: Adhtya Express, Yandi Posta, Pangeran Blablabla, dan lain sebagai blablabla lainnya.

“Kebanyakan, nama-nama tersebut memang kuambil dari nama-nama mereka. Aku tak tahu apakah mereka simpan puisi-puisi itu. I don’t care, lah.”

“Entah bagaimana tingkahnya, denganku, orang yang dekat bisa saja jatuh hati. Aku sering dapat surat gombal, tapi saat itu yang kubaca jelek. Tidak pernah ada puisi bagus yang kuterima. Ketika kubalas para lelaki tersebut dengan puisi dari penyair flamboyan, matilah mereka, terkapar dan tersihir kata-kataku yang maha. Maybe, lantaran itu pula, bisa menjadi landasan alasan mengapa aku awalnya menulis puisi. Karena muntah akan kiriman puisi yang jelek yang diindah-indahkan,” tuh, kan, gaes.

Pada era milenum 2001, ia bersama sahabat sesastranya membentuk Sanggar Naga Bengsas ’01, dan ia terpilih sebagai ketua secara voting di Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Selatan, saat itu kelas 1 SMA. Dan para anggota yang bergabung, bahkan semuanya adalah pelajar SMA se-Banjarbaru.

“Pada tahun itu juga aku bergabung dengan Kilang Sastra Batu Karaha atas ajakan Bapak Eza Thabry Husano. Sampai beliau menutup mata untuk terakhir kalinya. Allahuma yarham, Al fatihah untuk almarhum. Setelahnya, aku langsung didaulat sebagai sekretaris Kilang Sastra Batu Karaha, membantu ketua Kilang Sastra Bapak M Syarkawi Mar’ie. Tapi,aku hanya sebentar mendampingi Pa Syarkawi, karena beberapa bulan sesudahnya beliau wafat dan selanjutnya Bu Nanie Retno hingga 2010.”

Enigma, merupakan salah satu cerpen pemenang lomba cipta cerpen tingkat SMA ketika ia SMA. Perihal Organisasi, Hudan orang yang berkecimpung tidak dalam satu jabatan saja. Bahkan tak sekadar mengisi struktur, melainkan penggagas juga.

Pada 2006, Hudan dipercaya sebagai ketua Art Department pada English Student Association setelah menjadi Alumni English Departmen Universitas Lambung Mangkurat, angkatan 2004. Ia juga menjadi Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Kalimantan Selatan Mahasiswa Bahasa dan Sastra Inggris se-Indonesia (HIMABSII) 2007. Lalu menjadi Ketua Divisi Informasi dan Komunikasi DPP HIMABSII (2008).

Bersama Kilang sastra, Hudan menggagas bulletin Aliance Benlitkra yang konsen ke bidang sastra. Mendirikan Enigma Community di bangku kuliah bersama kru Enigma, dan ESA, buah kerjasama dengan Harian Radar Banjarmasin menayangkan rubrik Masterpiece Radar Campus satu halaman full yang kontennya seputar aktivitas kampus berbahasa inggris.

Harapan di Tahun 2020

Saya pun bertanya, apa sebenarnya misi Hudan Nur pada lingkaran yang ia geluti sekarang? Lingkaran dunia literasi tentu saja.

“Banyak harapan yang ingin digantungkan. Kuantitas buku yang diterbitkan sebenarnya belum tentu selurus dengan dampak yang dihasilkan ke depannya. Saya ingin memberi dampak bagi daerah tempat tinggal, yang jauh lebih berarti dari karya-karya pribadi yang hanya membesarkan nama sendiri,” tegasnya.

Hudan Nur menginginkan di era serba ini itu di tahun 2020 mendatang, diskusi apa pun semakin intens dilaksanakan. Semoga paling minim sebulan sekali di Perpustakaan Kota Banjarbaru, berjalan lancar. “Dan kusarankan, untuk kalian para redaksi asyikasyik, cari partner biar banyak sponsor.”

In Banjar

Examples of work

Nothing was added yet.